UJIAN IMAN
Penulis
buku dogmatika masa kini Dr. GC van Niftrik memberi alasan kepada setiap orang
percaya, perlunya iman sebagai landasan yang kuat, dalam bukunya beliau
mengatakan, “oleh karena iman, kita menjadi manusia baru, yaitu anak-anak
Allah.”[1]. Dasar
yang kuat pada orang percaya adalah beriman kepada Kristus. Ini merupakan iman
yang sejati. Ibrani 11:1 mencatat, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang
kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.”
Iman
merupakan sesuatu landasan hidup orang percaya, setiap orang percaya pasti akan
menghadapi ujian iman. Ujian iman ini bertujuan untuk membuat iman orang
percaya kuat, dalam menghadapi permasalahan hidup di dalam dunia ini. Iman
seorang Kristen sejati akan kelihatan ketika menghadapi masalah. Jika
mengatasinya dengan firman Tuhan, kesabaran, dan menang menghadapi persoalan
tersebut, imannya akan semakin kuat. Dalam
perjanjian lama, iman berasal dari akar kata (emuna) yang diterjemahkan dengan
iman (faith) memiliki dasar: tegas, akrab, kokoh, teguh, kesetiaan, ketaatan,
kebenaran, keteguhan.[2]
Dengan
demikian kata iman dapat disimpulkan menjadi keyakian yang teguh, mempercayai
Allah sepenuhnya, bergantung penuh diberbagai aspek kehidupan. Paulus sangat
menekankan tentang ajaran iman kepada Kristus, apa yang dilakukan saat ujian
iman itu datang pada orang percaya, dengan tujuan supaya iman kepada Kristus
tidak ditinggalkan dalam kondisi dan tawaran apapun. Paulus pun melihat iman
Timotius bahwa itu adalah iman yang sejati dan murni, dalam Grow in Grace
menuliskan :
Paulus
menggambarkan iman Timotius sebagai iman yang “murni” dan “asli” atau “tulus”
(2 Tim.1:5). Kata yang dipakai disini merupakan gambaran dari satu kata Yunani
: gabungan dua kata yaitu: an dan hipokrit artinya tidak munafik.[3]
Paulus yakin akan iman Timotius
murni dalam melayani Tuhan dan tidak memiliki motivasi yang lain dalam melayani
Tuhan. Ia pun memiliki iman yang tidak akan tergoyahkan dengan keadaan
sekitarnya yang memiliki ajaran-ajaran sesat yang akan menggoyahkan iman kepercayaannya
kepada Kristus, bahkan Timotius harus menguatkan jemaatnya agar imannya jemaat
tidak goyah akan pengajaran sesat yang lagi berkembang pada saat itu. Pengajaran Paulus
tentang iman sangat kaya dan merupakan ajaran yang paling beranekaragam dalam
perjanjian baru. Perolehan keselamatan baginya semata-mata dihasilkan “oleh
iman”. Paulus kadang-kadang menggunakan
istilah pistis dalam arti kesetiaan
Allah (2 Tim.2:13). Allah dapat dipercayai sepenuhnya untuk memenuhi
janji-janji-Nya, jadi, janji-janji itu dapat dipercaya tanpa ragu.
Berdasarkan
latar-belakang kesetiaan Allah inilah penggunaan kata pistis oleh Paulus bagi iman manusia kepada Allah harus ditelaah.
Pertama-tama iman pada hakikatnya berarti menerima amanat Allah, yaitu
tanggapan manusia kepada pemberitaan Injil (1 kor.1:21; Ef.1:13), iman timbul
dari pendengaran, dan pendengaran oleh Firman Kristus” (Rm.10:17). Kristuslah obyek iman dan Kristus mempunyai
arti bagi seseorang hanya melalui iman. Bukti adanya tanggapan berdasarkan iman
terletak pada pengakuan dengan mulut bahwa Yesus adalah Tuhan (Rm.10:8). Bagi
Paulus iman bukan sekedar tindakan awal untuk menerima karunia cuma-cuma dari
Allah, melainkan mencakup suatu proses yang bersinambungan, tatkala ia berkata
bahwa kebenaran Allah dinyatakan “bertolak dari iman dan memimpin kepada iman”
(Rm.1:17), Paulus sedang mengungkapkan sifat progresif Allah, tetapi sebagai
hasil dari hubungan yang baru dengan Kristus. Paulus berkata bahwa hidup yang
sekarang ia dihidupi di dalam daging adalah “hidup oleh iman dalam Anak Allah
yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diriNya untuk aku (Gal.2:20).” Hidup
baru dilihat sebagai perbuatan iman yang berkelanjutan, perolehan yang terus
menerus dari apa yang telah Kristus perbuat baginya. Ini tidak mengurangi sifat
pembenaran sebagai “sekali untuk selamanya” melainkan menyoroti genggaman iman
secara tetap terhadapnya.[4]
Tuhan Yesus pun sudah
berkata, bahwa orang yang mau mengikuti-Nya akan mengalami penderitaan
(Mat.10:22;16:24). Bahkan dalam perjalan Paulus mengajarkan dan menguatkan
orang percaya untuk kuat dalam penderita, suatu saat nanti merasakan kehidupan
yang kekal (Kis.14:22). Dalam kitab Yakobus
membahas tentang ujian iman, ini menjadi judul perikop yang sangat menonjol di
dalam kitab yakobus 1:2-8 mencatat sebagai berikut: Saudara-saudaraku,
sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia,
janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka. Sebab, jika ada seorang
masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang
juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk,dan kamu menghormati
orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: "Silakan tuan duduk
di tempat yang baik ini!", sedang kepada orang yang miskin itu kamu
berkata: "Berdirilah di sana!" atau: "Duduklah di lantai ini
dekat tumpuan kakiku!", bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam
hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat?Dengarkanlah, hai
saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap
miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris
Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia? Tetapi
kamu telah menghinakan orang-orang miskin. Bukankah justru orang-orang kaya
yang menindas kamu dan yang menyeret kamu ke pengadilan? Bukankah mereka yang
menghujat Nama yang mulia, yang oleh-Nya kamu menjadi milik Allah?Akan tetapi,
jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci:
"Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri", kamu berbuat
baik.
Dalam
ayat 2 menjelaskan tentang orang percaya yang menghadapi ujian iman dengan
sungguh-sungguh akan menghasilkan ketekunan, dari ketekunan tersebut
menghasilkan buah yang matang, supaya menjadi sempurna seperti Kristus dan utuh
dan tidak kekurangan sesuatu apapun. Melalui
ujian iman ini membantu pertumbuhan rohani orang percaya menuju kedewasaan,
kedewasaan yang seperti Kristus. Ujian ini merupakan cara Allah yang bertujuan
untuk meningkatkan kerohanian setiap orang percaya.
Orang
bukan percaya juga sadar akan fakta ini, bahwa penderitaan membantu bertumbuh.
Untuk bisa bertumbuh didalam kehidupan ini, seseorang harus melalui berbagai
macam sukacita dan kesedihan, tidak bisa menyebut seseorang yang belum
menghadapi berbagai kesukaran dan pencobaan, sebagai orang yang dewasa.
Kedewasaan sejati tidak datang bersamaan dengan usia atau pendidikan, melainkan
lewat pemahaman dari pengalaman hidup. Semua tahu bahwa proses pertumbuhan itu
bagi setiap orang terasa sangat berat, penuh dengan sukacita dan kesedihan yang
silih berganti. Akan tetapi, proses ini harus dilalui oleh sikap dewasa.
Prinsip
yang sama berlaku di dalam pertumbuhan Kristen. Iman harus menghadapi ujian.
Hanya melalui ujian-ujian yang beragam itu baru kehidupan rohani bisa bertumbuh
menuju kedewasaan. Bagaimanapun juga, setiap orang harus mencamkan poin bahwa
ujian iman bukan kemalangan. Ujian
iman pun tidak bisa diprediksi, bisa datang kapanpun didalam kehidupan orang
percaya, waktu yang ditetapkan oleh Allah. Yesus memberitahukan dengan jelas
akan hal perumpamaan tentang menabur benih.
Ada jenis empat tanah dalam perumpamaan tersebut:
Perumpamaan
pertama, benih yang ditabur dipinggir jalan. Ini menandakan orang percaya yang
mendengar Firman tapi tidak mengerti kebenaran Firman tersebut.
Perumpamaan
yang kedua, benih yang ditaburkan ditanah yang berbatu-batu. Ini menandakan
orang percaya yang mendengar Firman dengan gembira, tapi tidak berakar dan
tahan sebentar saja, apabila penindasan atau penganiayaan datang orang tersebut
akan murtad.
Perumpamaan
yang ketiga, benih yang ditaburkan disemak duri, ini menandakan orang yang
mendengar Firman tetapi dipenuhi kekawatiran dunia dan tipu daya kekayaan
sehingga Firman tersebut tidak bertumbuh.
Perumpamaan
yang keempat, benih yang ditabur di tanah yang baik. Orang yang mendengar Firman
dengan baik dan mengerti dan karena itu orang tersebut berbuah, buahnya banyak
seratus kali lipat, empat kali lipat dan tiga puluh kali lipat.
Dari
perumpamaan ini, bisa disimpulkan bahwa setiap orang yang tahan uji, akan
mendapatkan upahnya. Yakobus 1:12 mencatat, “Berbahagialah orang yang bertahan
dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota
kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” Demikianlah,
di dalam ujian iman ini, apakah pencobaan itu berbentuk kesukaran atau aniaya,
entah besar atau kecil, semua dipakai Allah untuk membantu memperdalam akar
kerohanian orang percaya, untuk memperdalam hubungan dengan Allah, supaya bisa
bertumbuh dan menghasilkan banyak buah bagi Tuhan.
Alkitab
menggunakan gambaran lain lagi untuk melukiskan makna penting ujian iman. Rasul
Petrus menggunakan gambaran permunian emas di dalam 1 Petrus 1:6-7. Rasul
Petrus memakai api sebagai gambaran ujian. Allah baru akan mendapatkan emas
yang murni dengan memanaskannya dengan api. Semakin kuat dan lama panas emas
itu berada didalam api maka semakin murni dan berharga emas yang dihasilkan.
Inilah yang dimaksudkan oleh rasul Yakobus untuk menjadi sempurna, utuh dan
tidak kekurangan sesuatu apapun.
Ujian
iman harus dihadapi dengan iman.
Pencobaan itu sendiri melibatkan penderitaan yang besar, ini bukan hal
yang mudah itu sebabnya rasul Petrus juga ikut bersimpati atas tekanan yang
diakibatkan oleh ujian (1 Pet.1:6,7). Orang percaya harus melihatnya dengan
mata iman, jika orang percaya sudah bertahan didalam iman kepada Kristus akan
melihat bahwa ujian tersebut hanya bersifat sementara. Iman kepada Allah akan
memberi harapan dan harapan itu akan memampukan untuk mengatasi semua kesukaran
dan aniaya. Dengan
demikian setiap orang percaya harus menghadapi ujian iman dengan bersukacita,
ini tidak bermaksud untuk bersenang-senang di dalam penderitaan tetapi untuk
memandang ujian iman dengan mata iman dan pengucapan syukur. Hanya dengan
demikian, orang percaya dapat melihat indahnya tujuan dan berkat yang Allah
sediakan bagi orang percaya di dalam ujian itu.
[2] J. D.
Douglas, The New Bible Dictionary
(Michigan: WB. M. Eerdmans Publishing CO, 1962), 410-412.
[3] Sinclair B. Ferguson, Grow In Grace (Bertumbuh Dalam Anugerah)
(Surabaya: Momentum 1997), 139.
Komentar
Posting Komentar